Selasa, 30 Juli 2013

KARYA SENI RUPA KONTEMPORER

 Karya Seni Rupa Kontemporer


 

Selain berdasarkan medianya, kesenian juga dapat digolongkan berdasarkan sifatnya, yakni dengan seni kontemporer dan klasik. Seni klasik yang dimaksud adalah kesenian yang diasosiasikan pada puncak penciptaan seni tertinggi pada suatu masyarakat. Sedangkan dalam seni kontemporer, sifat kesenian dihubungkan dengan penciptaan kekinian dan tengah mengalami proses perkembangan.
Istilah kontemporer sendiri berasal dari kata contemporary yang berarti apa-apa atau mereka yang hidup pada masa yang bersamaan (D. Maryanto, 2000). Walaupun demikian istilah “seni rupa kontemporer” ternyata tidak dapat begitu saja diterjemahkan sebagai seni dengan sifat kekinian seperti dijelaskan di atas. Istilah seni rupa kontemporer di Barat pada kenyatannya masih menimbulkan perdebatan, terutama karena tidak ada ciri dominan yang dapat dirujuk untuk menunjuk kepada suatu praktek atau bentuk seni yang baku. Pengertian kontemporer semakin menimbulkan perdebatan, apalagi jika istilah tersebut digunakan untuk menunjuk pada praktek seni rupa di Indonesia. Berbagai perdebatan ini muncul karena penggunaan artinya secara leksikal menerangkan kekinian sekaligus juga mewakili konsep seni rupa kontemporer yang dipengaruhi wacana dalam seni rupa Barat.
Di Barat, wacana kontemporer dimulai dengan menunjukkan pada berakhirnya era modernisme dalam seni rupa (modern art). Berakhirnya era ini memunculkan terminologi baru yang kemudian dipakai dalam praktek seni rupa di Barat yaitu kecenderungan postmodern (post modernisme). Penggunaan istilah posmodern ternyata menyimpan persoalan—karena kompleksitas dan keragaman pengertian yang dibawanya—sehingga lebih banyak digunakan istilah seni rupa kontemporer (contemporary art). Walaupun demikian, istilah ini masih mendatangkan masalah karena tidak mengarah pada pengertian seni rupa tertentu. Kerumitan ini ditambah dengan pengertian contemporary yang secara leksikal sama dengan pengertian modern yang berarti juga ”masa kini” (A. Irianto, 2000).
Seni rupa kontemporer dapat dikatakan sebagai sebuah wacana dalam praktek seni rupa di Barat yaitu praktek seni rupa yang menunjuk kepada kecenderungan posmodern. Kecenderungan ini menyiratkan wacana dalam praktek seni rupa yang “anti modern”. Hal ini disebabkan karena salah satu paradigma kemunculan posmodern adalah paradigma yang menolak modernisme. Sifat-sifat modern yang ditolak diantaranya adalah semangat universalisme, kolektivitas, membelakangi tradisi, mengedepankan teknologi, individualitas (I. M. Pirous, 2000) serta penolakan (pelecehan) non-Barat. Sifat-sifat modern ini pada perkembangannya seolah-olah mengesampingkan berbagai produksi kesenian non Barat yang dianggap lebih rendah dari seni modern karena bersifat tradisional. Sifat inilah yang ditentang oleh penganut seni rupa posmodern karena sifat-sifat modern tadi tidak mengakui karya seni rupa tradisonal yang dihasilkan oleh budaya komunal sebagai karya seni rupa yang sejajar dengan karya seni rupa modern.
Ciri kontemporer dalam wacana seni rupa kemudian dikukuhkan dengan semangat pluralisme (keberagaman), berorientasi bebas serta menghilangkan batasan-batasan kaku yang dianggap baku (konvensional) dalam seni rupa selama ini. Dalam seni rupa kontemporer batasan medium dan pengkotak-kotakan seni seperti “seni lukis”, “seni patung” dan “seni grafis” nyaris diabaikan. Orientasi bebas dan medium yang tidak terbatas memunculkan karya-karya dengan media-media inkonvensional serta lebih berani menggunakan konteks sosial, ekonomi serta politik (Sumartono, 2000)..
Walaupun ada pemaknaan khusus dalam wacana seni rupa kontemporer seperti telah disebutkan di atas, tetapi arti leksikal yang menunjukkan konteks kekinian tidak dapat diabaikan begitu saja. Berdasarkan konteks kekinian, seni rupa kontemporer dapat dipandang sebagai karya seni yang ide dan pembahasannya dibentuk serta dipengaruhi sekaligus merefleksi kondisi yang mewarnai keadaan zaman ini tempat “budaya global” menyeruak, yang menebarkan banyak pengaruh yang menjadi penyebab berbagai perubahan dan perkembangan (Sumartono, 2000)
Dengan demikian konsep seni rupa kontemporer yang dimaksud dalam tulisan ini dapat dipakai untuk menunjukkan wacana seni anti modernisme yang mengagung-agungkan universalisme, menggunakan medium inkonvensional, berorientasi bebas, tidak terikat pada konvensi-konvensi yang baku, meniadakan pengkotak-kotakan serta lebih berani menyentuh persoalan sosial, ekonomi serta politik. Persoalan sosial, ekonomi dan politik ini diwarnai dengan keadaan zaman di mana budaya global banyak memberikan pengaruh terhadap perubahan dan perkembangan yang bersifat kultural.

Oleh:dita resti.m. dan ulya fatmawati

PLANET

Planet


{{{box_caption}}}
Skala objek berukuran planet:   Baris atas: Uranus dan Neptunus;   baris kedua: Bumi, bintang katai putih Sirius B, Venus;   baris bawah (diperbesar) – atas: Mars dan Merkurius;   bawah: Bulan, planet kerdil Pluto, dan Haumea
Skala objek berukuran planet:
Baris atas: Uranus dan Neptunus;
baris kedua: Bumi, bintang katai putih Sirius B, Venus;
baris bawah (diperbesar) – atas: Mars dan Merkurius;
bawah: Bulan, planet kerdil Pluto, dan Haumea
Planet (dari bahasa Yunani Kuno αστήρ πλανήτης (astēr planētēs), berarti "bintang pengelana") adalah benda astronomi yang mengorbit sebuah bintang atau sisa bintang yang cukup besar untuk memiliki gravitasi sendiri, tidak terlalu besar untuk menciptakan fusi termonuklir, dan telah "membersihkan" daerah sekitar orbitnya yang dipenuhi planetesimal.[a][1][2] Kata planet sudah lama ada dan memiliki hubungan sejarah, sains, mitologi, dan agama. Oleh peradaban kuno, planet dipandang sebagai sesuatu yang abadi atau perwakilan dewa. Seiring kemajuan ilmu pengetahuan, pandangan manusia terhadap planet berubah. Pada tahun 2006, Persatuan Astronomi Internasional (IAU) mengesahkan sebuah resolusi resmi yang mendefinisikan planet di Tata Surya. Definisi ini dipuji namun juga dikritik dan masih diperdebatkan oleh sejumlah ilmuwan karena tidak mencakup benda-benda bermassa planet yang ditentukan oleh tempat atau benda orbitnya. Meski delapan benda planet yang ditemukan sebelum 1950 masih dianggap "planet" sesuai definisi modern, sejumlah benda angkasa seperti Ceres, Pallas, Juno, Vesta (masing-masing objek di sabuk asteroid Matahari), dan Pluto (objek trans-Neptunus yang pertama ditemukan) yang dulunya dianggap planet oleh komunitas ilmuwan sudah tidak dipermasalahkan lagi.
Ptolomeus menganggap planet mengelilingi Bumi dengan gerakan deferen dan episiklus. Walaupun ide planet mengelilingi Matahari sudah lama diutarakan, baru pada abad ke-17 ide ini terbukti oleh pengamatan teleskop Galileo Galilei. Dengan analisis data observasi yang cukup teliti, Johannes Kepler menemukan bahwa orbit planet tidak berbentuk lingkaran, melainkan elips. Seiring perkembangan peralatan observasi, para astronom mengamati bahwa planet berotasi pada sumbu miring dan beberapa di antaranya memiliki beting es dan musim layaknya Bumi. Sejak awal Zaman Angkasa, pengamatan jarak dekat oleh wahana antariksa membuktikan bahwa Bumi dan planet-planet lain memiliki tanda-tanda vulkanisme, badai, tektonik, dan bahkan hidrologi.
Secara umum, planet terbagi menjadi dua jenis utama: raksasa gas besar berkepadatan rendah dan raksasa darat kecil berbatu. Sesuai definisi IAU, ada delapan planet di Tata Surya. Menurut jaraknya dari Matahari (dekat ke jauh), ada empat planet kebumian, Merkurius, Venus, Bumi, dan Mars, kemudian empat raksasa gas, Yupiter, Saturnus, Uranus, dan Neptunus. Enam planet di antaranya dikelilingi oleh satu satelit alam atau lebih. Selain itu, IAU mengakui lima planet kerdil[3] dan ratusan ribu benda kecil Tata Surya. Mereka juga masih mempertimbangkan benda-benda lain untuk digolongkan sebagai planet.[4]
Sejak 1992, ratusan planet yang mengelilingi bintang-bintang lain ("planet luar surya" atau "eksoplanet") di Bima Sakti telah ditemukan. Per 22 Maret 2013, 861 planet luar surya yang diketahui (di 677 sistem planet dan 128 sistem multiplanet) terdaftar di Extrasolar Planets Encyclopaedia. Ukurannya beragam, mulai dari planet daratan mirip Bumi hingga raksasa gas yang lebih besar daripada Yupiter.[5] Pada tanggal 20 Desember 2011, tim Teleskop Luar Angkasa Kepler menemukan dua planet luar surya seukuran Bumi, Kepler-20e[6] dan Kepler-20f,[7] yang mengorbit bintang mirip Matahari, Kepler-20.[8][9][10] Studi tahun 2012 yang menganalisis data mikrolensa gravitasi memperkirakan setiap bintang di Bima Sakti rata-rata dikelilingi oleh sedikitnya 1,6 planet.[11] Sejumlah astronom di Harvard-Smithsonian Center for Astrophysics (CfA) melaporkan pada Januari 2013 bahwa sedikitnya 17 miliar eksoplanet seukuran Bumi (tepatnya 0,8–1,25 massa Bumi) dengan periode orbit 85 hari atau kurang berada di galaksi Bima Sakti.

Oleh:annisa muzaki

PEMBALAKAN LIAR











  pembalakan liar adalah kegiatan penebangan, pengangkutan, dan penjualan kayu yang tidak sah atau tidak memiliki izin dari otoritas setempat.
Pembalakan liar dilakukan oleh perusahaan-perusahaan atau pribadi-pribadi yang membutuhkan. Pohon-pohon ditebang dengan seenaknya untuk keperluan pribadi dan tanpa ijin, membuka hutan dan menguras habis isinya, dan tanpa menanam kembali hutan untuk kelestarian selanjutnya.
Akibat Pembalakan Liar Hutan Indonesia
Pembalak-pembalak liar tidak peduli dengan penanaman kembali pohon. Sebanyak42 juta Hahutan di Indonesia telah berkurang dari 130 juta Haluas hutan Indonesia. Tentu saja penanaman pohon-pohon itu memakan waktu yang tidak sedikit. Lahan-lahan hutan yang tidak ditanami kembali menyebabkan bencana melanda. Longsor, banjir adalah akibat dari penggundulan hutan.
Hutan yang menggundul mengakibatkan habitat hewan-hewan buas di hutan pun menjadi semakin punah, hal ini mengakibatkan hewan-hewan buas tersebut keluar dari hutan dan mencari makanan di kampung-kampung sekitar hutan. Seperti kita ketahui banyak kejadian sawah-sawah penduduk yang rusak diterjang hewan-hewan hutan dan bahkan penduduk kampung sendiri yang diterkam oleh hewan buas yang mencari mangsa. Efeknya luas bagi kehidupan masyarakat.
Selain itu fungsi hutan sebagai paru-paru dunia menjadi rusak, mengakibatkan iklim dunia (khususnya Indonesia) menjadi lebih panas berakibat pada efek rumah kaca.
Oleh:muhammad fauzi

About

Popular Posts

Blogroll

Blogger templates

Blogger news