Selain berdasarkan medianya, kesenian juga dapat digolongkan
berdasarkan sifatnya, yakni dengan seni kontemporer dan klasik. Seni
klasik yang dimaksud adalah kesenian yang diasosiasikan pada puncak
penciptaan seni tertinggi pada suatu masyarakat. Sedangkan dalam seni
kontemporer, sifat kesenian dihubungkan dengan penciptaan kekinian dan
tengah mengalami proses perkembangan.
Istilah kontemporer sendiri berasal dari kata contemporary yang berarti apa-apa atau mereka yang hidup pada masa yang bersamaan (D. Maryanto, 2000). Walaupun demikian istilah “seni rupa kontemporer” ternyata tidak dapat begitu saja diterjemahkan sebagai seni dengan sifat kekinian seperti dijelaskan di atas. Istilah seni rupa kontemporer di Barat pada kenyatannya masih menimbulkan perdebatan, terutama karena tidak ada ciri dominan yang dapat dirujuk untuk menunjuk kepada suatu praktek atau bentuk seni yang baku. Pengertian kontemporer semakin menimbulkan perdebatan, apalagi jika istilah tersebut digunakan untuk menunjuk pada praktek seni rupa di Indonesia. Berbagai perdebatan ini muncul karena penggunaan artinya secara leksikal menerangkan kekinian sekaligus juga mewakili konsep seni rupa kontemporer yang dipengaruhi wacana dalam seni rupa Barat.
Di Barat, wacana kontemporer dimulai dengan menunjukkan pada berakhirnya era modernisme dalam seni rupa (modern art). Berakhirnya era ini memunculkan terminologi baru yang kemudian dipakai dalam praktek seni rupa di Barat yaitu kecenderungan postmodern (post modernisme). Penggunaan istilah posmodern ternyata menyimpan persoalan—karena kompleksitas dan keragaman pengertian yang dibawanya—sehingga lebih banyak digunakan istilah seni rupa kontemporer (contemporary art). Walaupun demikian, istilah ini masih mendatangkan masalah karena tidak mengarah pada pengertian seni rupa tertentu. Kerumitan ini ditambah dengan pengertian contemporary yang secara leksikal sama dengan pengertian modern yang berarti juga ”masa kini” (A. Irianto, 2000).
Seni rupa kontemporer dapat dikatakan sebagai sebuah wacana dalam praktek seni rupa di Barat yaitu praktek seni rupa yang menunjuk kepada kecenderungan posmodern. Kecenderungan ini menyiratkan wacana dalam praktek seni rupa yang “anti modern”. Hal ini disebabkan karena salah satu paradigma kemunculan posmodern adalah paradigma yang menolak modernisme. Sifat-sifat modern yang ditolak diantaranya adalah semangat universalisme, kolektivitas, membelakangi tradisi, mengedepankan teknologi, individualitas (I. M. Pirous, 2000) serta penolakan (pelecehan) non-Barat. Sifat-sifat modern ini pada perkembangannya seolah-olah mengesampingkan berbagai produksi kesenian non Barat yang dianggap lebih rendah dari seni modern karena bersifat tradisional. Sifat inilah yang ditentang oleh penganut seni rupa posmodern karena sifat-sifat modern tadi tidak mengakui karya seni rupa tradisonal yang dihasilkan oleh budaya komunal sebagai karya seni rupa yang sejajar dengan karya seni rupa modern.
Ciri kontemporer dalam wacana seni rupa kemudian dikukuhkan dengan semangat pluralisme (keberagaman), berorientasi bebas serta menghilangkan batasan-batasan kaku yang dianggap baku (konvensional) dalam seni rupa selama ini. Dalam seni rupa kontemporer batasan medium dan pengkotak-kotakan seni seperti “seni lukis”, “seni patung” dan “seni grafis” nyaris diabaikan. Orientasi bebas dan medium yang tidak terbatas memunculkan karya-karya dengan media-media inkonvensional serta lebih berani menggunakan konteks sosial, ekonomi serta politik (Sumartono, 2000)..
Walaupun ada pemaknaan khusus dalam wacana seni rupa kontemporer seperti telah disebutkan di atas, tetapi arti leksikal yang menunjukkan konteks kekinian tidak dapat diabaikan begitu saja. Berdasarkan konteks kekinian, seni rupa kontemporer dapat dipandang sebagai karya seni yang ide dan pembahasannya dibentuk serta dipengaruhi sekaligus merefleksi kondisi yang mewarnai keadaan zaman ini tempat “budaya global” menyeruak, yang menebarkan banyak pengaruh yang menjadi penyebab berbagai perubahan dan perkembangan (Sumartono, 2000)
Dengan demikian konsep seni rupa kontemporer yang dimaksud dalam tulisan ini dapat dipakai untuk menunjukkan wacana seni anti modernisme yang mengagung-agungkan universalisme, menggunakan medium inkonvensional, berorientasi bebas, tidak terikat pada konvensi-konvensi yang baku, meniadakan pengkotak-kotakan serta lebih berani menyentuh persoalan sosial, ekonomi serta politik. Persoalan sosial, ekonomi dan politik ini diwarnai dengan keadaan zaman di mana budaya global banyak memberikan pengaruh terhadap perubahan dan perkembangan yang bersifat kultural.
Istilah kontemporer sendiri berasal dari kata contemporary yang berarti apa-apa atau mereka yang hidup pada masa yang bersamaan (D. Maryanto, 2000). Walaupun demikian istilah “seni rupa kontemporer” ternyata tidak dapat begitu saja diterjemahkan sebagai seni dengan sifat kekinian seperti dijelaskan di atas. Istilah seni rupa kontemporer di Barat pada kenyatannya masih menimbulkan perdebatan, terutama karena tidak ada ciri dominan yang dapat dirujuk untuk menunjuk kepada suatu praktek atau bentuk seni yang baku. Pengertian kontemporer semakin menimbulkan perdebatan, apalagi jika istilah tersebut digunakan untuk menunjuk pada praktek seni rupa di Indonesia. Berbagai perdebatan ini muncul karena penggunaan artinya secara leksikal menerangkan kekinian sekaligus juga mewakili konsep seni rupa kontemporer yang dipengaruhi wacana dalam seni rupa Barat.
Di Barat, wacana kontemporer dimulai dengan menunjukkan pada berakhirnya era modernisme dalam seni rupa (modern art). Berakhirnya era ini memunculkan terminologi baru yang kemudian dipakai dalam praktek seni rupa di Barat yaitu kecenderungan postmodern (post modernisme). Penggunaan istilah posmodern ternyata menyimpan persoalan—karena kompleksitas dan keragaman pengertian yang dibawanya—sehingga lebih banyak digunakan istilah seni rupa kontemporer (contemporary art). Walaupun demikian, istilah ini masih mendatangkan masalah karena tidak mengarah pada pengertian seni rupa tertentu. Kerumitan ini ditambah dengan pengertian contemporary yang secara leksikal sama dengan pengertian modern yang berarti juga ”masa kini” (A. Irianto, 2000).
Seni rupa kontemporer dapat dikatakan sebagai sebuah wacana dalam praktek seni rupa di Barat yaitu praktek seni rupa yang menunjuk kepada kecenderungan posmodern. Kecenderungan ini menyiratkan wacana dalam praktek seni rupa yang “anti modern”. Hal ini disebabkan karena salah satu paradigma kemunculan posmodern adalah paradigma yang menolak modernisme. Sifat-sifat modern yang ditolak diantaranya adalah semangat universalisme, kolektivitas, membelakangi tradisi, mengedepankan teknologi, individualitas (I. M. Pirous, 2000) serta penolakan (pelecehan) non-Barat. Sifat-sifat modern ini pada perkembangannya seolah-olah mengesampingkan berbagai produksi kesenian non Barat yang dianggap lebih rendah dari seni modern karena bersifat tradisional. Sifat inilah yang ditentang oleh penganut seni rupa posmodern karena sifat-sifat modern tadi tidak mengakui karya seni rupa tradisonal yang dihasilkan oleh budaya komunal sebagai karya seni rupa yang sejajar dengan karya seni rupa modern.
Ciri kontemporer dalam wacana seni rupa kemudian dikukuhkan dengan semangat pluralisme (keberagaman), berorientasi bebas serta menghilangkan batasan-batasan kaku yang dianggap baku (konvensional) dalam seni rupa selama ini. Dalam seni rupa kontemporer batasan medium dan pengkotak-kotakan seni seperti “seni lukis”, “seni patung” dan “seni grafis” nyaris diabaikan. Orientasi bebas dan medium yang tidak terbatas memunculkan karya-karya dengan media-media inkonvensional serta lebih berani menggunakan konteks sosial, ekonomi serta politik (Sumartono, 2000)..
Walaupun ada pemaknaan khusus dalam wacana seni rupa kontemporer seperti telah disebutkan di atas, tetapi arti leksikal yang menunjukkan konteks kekinian tidak dapat diabaikan begitu saja. Berdasarkan konteks kekinian, seni rupa kontemporer dapat dipandang sebagai karya seni yang ide dan pembahasannya dibentuk serta dipengaruhi sekaligus merefleksi kondisi yang mewarnai keadaan zaman ini tempat “budaya global” menyeruak, yang menebarkan banyak pengaruh yang menjadi penyebab berbagai perubahan dan perkembangan (Sumartono, 2000)
Dengan demikian konsep seni rupa kontemporer yang dimaksud dalam tulisan ini dapat dipakai untuk menunjukkan wacana seni anti modernisme yang mengagung-agungkan universalisme, menggunakan medium inkonvensional, berorientasi bebas, tidak terikat pada konvensi-konvensi yang baku, meniadakan pengkotak-kotakan serta lebih berani menyentuh persoalan sosial, ekonomi serta politik. Persoalan sosial, ekonomi dan politik ini diwarnai dengan keadaan zaman di mana budaya global banyak memberikan pengaruh terhadap perubahan dan perkembangan yang bersifat kultural.